Mudahnya Meraih DOllar $$$

Senin, 22 Juni 2009

Bedah RUU Zakat dan Produk Halal

RESENSI DISKUSI PUBLIK

BEDAH RUU ZAKAT & RUU JAMINAN PRODUK HALAL

Jakarta Media Center, 13 Juni 2009



Hadirnya RUU Zakat dan RUU jaminan Produk halal menjadi hal yang kontroversial di tengah-tengah kondisi ketatanegaraan saat ini, tatkala produk perundang-undangan yang cenderung diskriminatif semakin nyata ke permukaan.

Hal ini terlihat dari diskusi yang digelar dalam persfektif keumatan dan kemasyarakatan di bawah ini.

Menurut Ketua Umum PIKI (Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia) Cornelius D Ronowidjojo, hal-hal mengenai Zakat dan Produk halal tidak tepat jika diposisikan sebagai Undang-undang. Sebab Undang-undang sifatnya universal, bukan priviledge kelompok atau golongan tertentu. Maka sepantasnya ini diposisikan dalam keputusan mentri, yaitu menteri agama dan menteri sosial. Sebab jika ini merujuk kepada Undang-undang, ini memicu disintegrasi bangsa, dan jika ini di undangkan, maka keberadaan keutuhan NKRI patut dipertanyakan.

Menyikapi keberadaan RUU ini perwakilan PGI ( Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Gomar Goeltom) menambahkan, bahwa ada yang salah pada kebangsaan saat ini. Seharusnya Pendeta tidak mengurusi hal-hal keumatan yang seharusnya menjadi urusan Islam. Akan tetapi, dikarenakan ini menyangkut UU, maka selaku warga negara, ini menjadi ada kaitannya dengan orang Kristen juga. Sebab, sebelumnya juga telah ada UU yang cenderung bersifat golongan tertentu, UU bank Syariah, dsb misalnya. Ini menunjukkan bahwa ada yang sakit dalam bangsa ini. Sebab tidak sepantasnya proporsi hukum dilandaskan atas agama tertentu dalam konteks bangsa yang multi plural seperti Indonesia ini. Selayaknya hukum itu imparsial dan terobjektifasi. Hukum agama dibawa kedalam hukum negara, ini menunjukkan bahwa ada ketidak pastian atau ketidak jelasan dari hukum sejak negara ini dilahirkan,. Mungkin itu karena negara ini dibentuk dari kompromi-kompromi politik pada saat itu. Pada saat Negara ini hendak berdiri, pada saat perumusan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.

Sejalan dengan Pemahaman PGI dan PIKI, dari Perwakilan PHDI, Wayan menambahkan bahwa ada kemunduran dalam menafsirkan Pancasila. Jika para Founding Father masih hidup, maka mereka pasti komplain dengan hadirnya RUU ini. Sebab ada kekeliruan dalam melihat mana yang universal dan mana yang sektarian. Pada tahun `45, dengan memegang nilai-nilai keberagaman maka lahirlah Pancasila seperti yang saat ini. Nilai-nilai bingkai hukum yang berlaku bagi bangsa negara akan berlaku bagi semua warga negara. Oleh karena itu, untuk mengangkat nilai umum, harus dipertimbangkan kembali, agar tidak di saat kita mencoba membersihkan diri, malah menjadi mengotori diri kita .

Mengimbangi hal tersebut, pembicara dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muctar Zarkasih dalam pemaparannya mengatakan bahwa bukan UU ini yang membuat bangsa Indonesia di beda-bedakan, memang kenyataan nya adalah berbeda. Sebab sejak pemerintahan Hindia Belanda juga kita memang sudah berbeda. Di era pemerintahan Belanda, sudah ada hukum agama, yaitu adanya pengadilan agama, yang dimana juga dalam uu tersebut menyatakan bahwa orang islam berhak diadili sesuai dengan hukum Islam.

Kemudian dari cikal-bakal lahirnya pancasila dalam sidang BPUPKI, dari 9 ada 4 perwakilan islam yang menginginkan sila pertama dengan syariah bagi pemeluknya, ada 4 perwakilan kaum muslim yang sekuler, dan hanya 1 orang perwakilan non islam yang menginginkan bukan syariah. Dan pada 16 Juli `45 sudah disepakati Pancasila dengan sila 1 seperti yang tertera pada Piagam Jakarta, kemudian berubah sampai Pancasila seperti yang ada saat ini. Ini kan sudah menunjukkan kebesaran hati kelompok mayoritas (Islam).

Perihal zakat, ini adalah hal yang baik, dimana menyisihkan sedikit dari orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin yang dianggap layak menerimanya. Dan ini bukan untuk orang Islam saja, untuk orang non muslim pun akan diberikan. Nah kenapa harus menolak hal yang baik? Oleh karena itu harus ada aturannya. Bahkan di Singapore saja UU zakat sudah ada, padahal penduduk muslimnya hanya 10%, oleh karena itu di Indonesia seharusnya sudah.

Menambahi juga dari MUI, Lukman Hakim dalam paparannya mengenai produk halal, mengatakan bahwa di era tahun 90an perkembangan perfektif pangan sudah berubah. Yaitu good human consumtion dan safe human consumtion. FAO saat ini sudah merujuk pada safe human consumtion, nah ini menunjukkan keterlambatan untuk Indonesia. Di satu sisi, sebagai warga negara mayoritas, Islam merasa bahwa negara tidak melindungi warganya. Dan sebagai konsekuensi agama Islam yang sangat tegas mengenai aturan agama, maka RUU ini harus diundangkan. UU halal ini bukanlah UU yang akan menjadikan kita terpecah-belah, coba lihat dari posisi Islam, untuk melindungi Islam. Seharusnya berdiskusi bagaimana agar UU ini tidak menganggu yang lainnya.

Disamping itu, dari perfektif Kemasyarakatan dan HAM, diskusi tersebut memberikan gambaran sebagai berikut.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum adalah produk politik.

Jika dilihat dari persfektif Hak Asasi Manusia, yang perlu dipertanyakan adalah, arah politik hukum Indonesia, apakah arah politik indonesia ke arah sistem yang pluralis, kesamaan atau sekuler?. Di satu sisi, hukum yang berdasarkan agama adalah wajar, di sisi lain ada juga hukum yang bersifat insidentil,misalnya hukum hak waris dalam Islam, dimana jika anak sudah berpindah agama, tidak lagi mendapatkan warisan. Hukum yang sifatnya campuran,misal, hukum perkawinan campuran.

Oleh karena itu sebaiknya ada politik keseimbangan. Dalam hal ini, menghindari sektarian yang tidak terkontrol. Kalau ditempatkan pada pengelolaan zakat tidak menjadi masalah.

Pertanyaanya apakah pendistribusian zakat itu kepada semua umat agama? Mengenai jaminan produk halal, setiap orang memiliki hak asasi masing-masing, hanya saja perlu dipertegas kembali apakah kehadiran RUU ini untuk lebih mengatur peribadatan, atau hanya merupakan selera pasar?

Dalam RUU ini proses yang menilai halal adalah negara dan negara menugaskan kepada MUI. Apakah MUI representasi dari umat islam?

Selayaknya urusan agama diatur oleh agama, bukan negara. Ini mencerminkan bahwa urusan agama telah menjadi urusan negara, bukan lagi urusan umat kepada Tuhan. Sehingga, jika kita menberikan zakat (yang seharusnya merupakan sumbangsih sosial), ataupun terkena sangsi ke-halal-an, ini menjadi tanggung jawab kita kepada negara, bukan lagi selayaknya hakekat peribadahan kepada Tuhan. Ini adalah bahaya !

Disisi lain, persfektif halal juga menjadi kontroversial di kalangan Islam sendiri. Sebab, dalam Draft RUU ini, tidak mengakomodir persfektif halal dari berbagai kalangan Islam Indonesia. Sebab, jika ada sertifikasi halal dan logo halal, maka MUI, NU, Muhammadiah, dsb, berhak memberikan logo halal ataupun sertifikasi. Sehingga bisa terjadi, satu sisi NU bilang halal, Muhammadiyah mengatakan lain, dan sebaliknya.

Menyikapi kehadiran RUU ini, sebaiknya yang menjadi dasar pemikiran adalah pemahaman konstitusi negara. Sebab sifat perundang-undangan adalah universal dan mengikat setiap warga negara, sehingga dalam proses pembuatan RUU ini, telah mengakomodir pandangan setiap warga negara. Tidak dalam hal keinginan pihak ataupun golongan yang meng-klaim dirinya adalah ”kelompok mayoritas”, melainkan mempertimbangkan juga suasana kebathinan ”kelompok minoritas”

CopyRight by: Jaringan Indonesia Raya ( JIRA )

Bedah RUU Zakat dan Produk Halal

RESENSI DISKUSI PUBLIK

BEDAH RUU ZAKAT & RUU JAMINAN PRODUK HALAL

Jakarta Media Center, 13 Juni 2009


Hadirnya RUU Zakat dan RUU jaminan Produk halal menjadi hal yang kontroversial di tengah-tengah kondisi ketatanegaraan saat ini, tatkala produk perundang-undangan yang cenderung diskriminatif semakin nyata ke permukaan.

Hal ini terlihat dari diskusi yang digelar dalam persfektif keumatan dan kemasyarakatan di bawah ini.

Menurut Ketua Umum PIKI (Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia) Cornelius D Ronowidjojo, hal-hal mengenai Zakat dan Produk halal tidak tepat jika diposisikan sebagai Undang-undang. Sebab Undang-undang sifatnya universal, bukan priviledge kelompok atau golongan tertentu. Maka sepantasnya ini diposisikan dalam keputusan mentri, yaitu menteri agama dan menteri sosial. Sebab jika ini merujuk kepada Undang-undang, ini memicu disintegrasi bangsa, dan jika ini di undangkan, maka keberadaan keutuhan NKRI patut dipertanyakan.

Menyikapi keberadaan RUU ini perwakilan PGI ( Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Gomar Goeltom) menambahkan, bahwa ada yang salah pada kebangsaan saat ini. Seharusnya Pendeta tidak mengurusi hal-hal keumatan yang seharusnya menjadi urusan Islam. Akan tetapi, dikarenakan ini menyangkut UU, maka selaku warga negara, ini menjadi ada kaitannya dengan orang Kristen juga. Sebab, sebelumnya juga telah ada UU yang cenderung bersifat golongan tertentu, UU bank Syariah, dsb misalnya. Ini menunjukkan bahwa ada yang sakit dalam bangsa ini. Sebab tidak sepantasnya proporsi hukum dilandaskan atas agama tertentu dalam konteks bangsa yang multi plural seperti Indonesia ini. Selayaknya hukum itu imparsial dan terobjektifasi. Hukum agama dibawa kedalam hukum negara, ini menunjukkan bahwa ada ketidak pastian atau ketidak jelasan dari hukum sejak negara ini dilahirkan,. Mungkin itu karena negara ini dibentuk dari kompromi-kompromi politik pada saat itu. Pada saat Negara ini hendak berdiri, pada saat perumusan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.

Sejalan dengan Pemahaman PGI dan PIKI, dari Perwakilan PHDI, Wayan menambahkan bahwa ada kemunduran dalam menafsirkan Pancasila. Jika para Founding Father masih hidup, maka mereka pasti komplain dengan hadirnya RUU ini. Sebab ada kekeliruan dalam melihat mana yang universal dan mana yang sektarian. Pada tahun `45, dengan memegang nilai-nilai keberagaman maka lahirlah Pancasila seperti yang saat ini. Nilai-nilai bingkai hukum yang berlaku bagi bangsa negara akan berlaku bagi semua warga negara. Oleh karena itu, untuk mengangkat nilai umum, harus dipertimbangkan kembali, agar tidak di saat kita mencoba membersihkan diri, malah menjadi mengotori diri kita .

Mengimbangi hal tersebut, pembicara dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muctar Zarkasih dalam pemaparannya mengatakan bahwa bukan UU ini yang membuat bangsa Indonesia di beda-bedakan, memang kenyataan nya adalah berbeda. Sebab sejak pemerintahan Hindia Belanda juga kita memang sudah berbeda. Di era pemerintahan Belanda, sudah ada hukum agama, yaitu adanya pengadilan agama, yang dimana juga dalam uu tersebut menyatakan bahwa orang islam berhak diadili sesuai dengan hukum Islam.

Kemudian dari cikal-bakal lahirnya pancasila dalam sidang BPUPKI, dari 9 ada 4 perwakilan islam yang menginginkan sila pertama dengan syariah bagi pemeluknya, ada 4 perwakilan kaum muslim yang sekuler, dan hanya 1 orang perwakilan non islam yang menginginkan bukan syariah. Dan pada 16 Juli `45 sudah disepakati Pancasila dengan sila 1 seperti yang tertera pada Piagam Jakarta, kemudian berubah sampai Pancasila seperti yang ada saat ini. Ini kan sudah menunjukkan kebesaran hati kelompok mayoritas (Islam).

Perihal zakat, ini adalah hal yang baik, dimana menyisihkan sedikit dari orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin yang dianggap layak menerimanya. Dan ini bukan untuk orang Islam saja, untuk orang non muslim pun akan diberikan. Nah kenapa harus menolak hal yang baik? Oleh karena itu harus ada aturannya. Bahkan di Singapore saja UU zakat sudah ada, padahal penduduk muslimnya hanya 10%, oleh karena itu di Indonesia seharusnya sudah.

Menambahi juga dari MUI, Lukman Hakim dalam paparannya mengenai produk halal, mengatakan bahwa di era tahun 90an perkembangan perfektif pangan sudah berubah. Yaitu good human consumtion dan safe human consumtion. FAO saat ini sudah merujuk pada safe human consumtion, nah ini menunjukkan keterlambatan untuk Indonesia. Di satu sisi, sebagai warga negara mayoritas, Islam merasa bahwa negara tidak melindungi warganya. Dan sebagai konsekuensi agama Islam yang sangat tegas mengenai aturan agama, maka RUU ini harus diundangkan. UU halal ini bukanlah UU yang akan menjadikan kita terpecah-belah, coba lihat dari posisi Islam, untuk melindungi Islam. Seharusnya berdiskusi bagaimana agar UU ini tidak menganggu yang lainnya.

Disamping itu, dari perfektif Kemasyarakatan dan HAM, diskusi tersebut memberikan gambaran sebagai berikut.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum adalah produk politik.

Jika dilihat dari persfektif Hak Asasi Manusia, yang perlu dipertanyakan adalah, arah politik hukum Indonesia, apakah arah politik indonesia ke arah sistem yang pluralis, kesamaan atau sekuler?. Di satu sisi, hukum yang berdasarkan agama adalah wajar, di sisi lain ada juga hukum yang bersifat insidentil,misalnya hukum hak waris dalam Islam, dimana jika anak sudah berpindah agama, tidak lagi mendapatkan warisan. Hukum yang sifatnya campuran,misal, hukum perkawinan campuran.

Oleh karena itu sebaiknya ada politik keseimbangan. Dalam hal ini, menghindari sektarian yang tidak terkontrol. Kalau ditempatkan pada pengelolaan zakat tidak menjadi masalah.

Pertanyaanya apakah pendistribusian zakat itu kepada semua umat agama? Mengenai jaminan produk halal, setiap orang memiliki hak asasi masing-masing, hanya saja perlu dipertegas kembali apakah kehadiran RUU ini untuk lebih mengatur peribadatan, atau hanya merupakan selera pasar?

Dalam RUU ini proses yang menilai halal adalah negara dan negara menugaskan kepada MUI. Apakah MUI representasi dari umat islam?

Selayaknya urusan agama diatur oleh agama, bukan negara. Ini mencerminkan bahwa urusan agama telah menjadi urusan negara, bukan lagi urusan umat kepada Tuhan. Sehingga, jika kita menberikan zakat (yang seharusnya merupakan sumbangsih sosial), ataupun terkena sangsi ke-halal-an, ini menjadi tanggung jawab kita kepada negara, bukan lagi selayaknya hakekat peribadahan kepada Tuhan. Ini adalah bahaya !

Disisi lain, persfektif halal juga menjadi kontroversial di kalangan Islam sendiri. Sebab, dalam Draft RUU ini, tidak mengakomodir persfektif halal dari berbagai kalangan Islam Indonesia. Sebab, jika ada sertifikasi halal dan logo halal, maka MUI, NU, Muhammadiah, dsb, berhak memberikan logo halal ataupun sertifikasi. Sehingga bisa terjadi, satu sisi NU bilang halal, Muhammadiyah mengatakan lain, dan sebaliknya.

Menyikapi kehadiran RUU ini, sebaiknya yang menjadi dasar pemikiran adalah pemahaman konstitusi negara. Sebab sifat perundang-undangan adalah universal dan mengikat setiap warga negara, sehingga dalam proses pembuatan RUU ini, telah mengakomodir pandangan setiap warga negara. Tidak dalam hal keinginan pihak ataupun golongan yang meng-klaim dirinya adalah ”kelompok mayoritas”, melainkan mempertimbangkan juga suasana kebathinan ”kelompok minoritas”

CopyRight by: Jaringan Indonesia Raya ( JIRA )

Make Money Online! Earn $1000s Per Month!

AdBrite